Background

Asean China Free Trade Agreement ACFTA; Korbankan petani Indonesia

Sebelum ditanda tanganinya ACFTA, Indonesia adalah negara yang paling aktif dalam mengusung agenda-agenda liberalisasi ekonomi baik perdagangan, investasi dan keuangan. Indonesia menjadi pendukung utama penggunaan strategi pasar bebas dalam menyelesaikan masalah ekonomi global saat ini. Sikap Indonesia tersebut terekam jelas dalam perundingan WTO, G20 dan perundingan perubahan iklim di Kopenhagen. Tindak lanjut dari itu adalah berbagai peraturan perundangan disahkan dalam rangka mendukung liberalisasi ekonomi, mulai dari UU BI, UU Migas, UU Penanaman Modal, UU Minerba, termasuk UU Perburuhan dan berbagai peraturan lainnya. Seluruh perangkat tersebut dibuat setelah terlebih dahulu melakukan amandemen terhadap UUD 1945. 

Kesepakatan antara ASEAN sebagai sebuah kawasan Free Trade Area dengan China melalui Free Trade Agreement (FTA) adalah kesepakatan yang tidak hanya menyangkut aspek perdagangan barang, akan tetapi termasuk jasa, investasi dan bahkan melibatkan komitmen utang luar negeri. FTA merupakan kesepakatan yang jauh lebih menyeluruh dibandingkan dengan WTO dan menganut prinsip aliran barang bebas, aliran jasa bebas, aliran tenaga kerja bebas dan aliran modal bebas. Maraknya FTA sebagai suatu strategi perdagangan tidak dapat dilepaskan dari kebuntuan dalam perundingan WTO. Akibatnya banyak negara atau kawasan di dunia membuat membuat FTA dengan aturan yang relative sama bahkan lebih komprehensif. FTA ASEAN sendiri tidak dapat dipisahkan dari sejarah terbentuknya ASEAN yang awalnya merupakan suatu organisasi yang beranggotakan negara-negara di Asia Tenggara yang diciptakan dalam rangka membendung pengaruh Uni Soviet dan China. ASEAN akhirnya menjadi lahan rebutan bagi negara industri AS, UE, Jepang dan selanjutnya juga China dalam rangka pencarian sumber daya alam dan ekspansi pasar. Kedua hal ini dianggap sebagai strategi utama untuk mengatasi krisis kapitalisme yang ada. 

ACFTA Korbankan Petani 

Liberalisasi pasar adalah bagian dari agenda besar kapitalisme global, kerjasama-kerjasama dengan Negara asing semakin mengukuhkan posisi Negara kita dalam konfrontasi kekuatan kapital dengan skala internasional. Sebut saja ACFTA yang sejak januari 2010 di berlakukan dengan aktif oleh rezim SBY-BOEDIONO, praktis setelah diberlakukan kesepakan dalam perjanjian ini Negara-negara yang ambil bagian dalam asean china free trade agreement harus membuka negaranya untuk eksfansi modal yang bersumber dari China. Namun kita jangan lupa, bahwa dalih akan mensejahterakan rakyat Indonesia menjadi isapan jempol saja ketika ternyata ada beberapa telaah yang janggal terkait dengan akibat ACFTA. 

Pertama, Negara Indonesia akan menggadaikan kedaulatan ekonomi karena tidak mampu menghadapi gelombang kekuatan modal china yang begitu besar. pemerintah berkilah lewat kata-kata: ACFTA akan meningkatkan perkembangan perekonomian indonesia, yang kemudian akan mensejahterakan rakyat, padahal kita tahu bahwa hal ini sama dengan memasuki perseteruan negara-negara yang memiliki akumulasi modal dalam jumlah besar tanpa kesiapan. 

kedua, rezim penguasa saat ini sangat tidak faham dengan fakta bahwa populasi indonesia sebagian besar adalah petani dan petani akan menjadi korban dari kuasa pemodal, hasil pertanian dalam negeri akan dibenturkan dengan produk-produk impor dari china karena semua Negara-negara asean yang telah menyepakati perdagangan bebas ACFTA di bebankan kewajiban untuk tidak menarik bea masuk barang-barang dari china termasuk produk-produk buah,sayur mayor dan hasil pertanian yang pada dasarnya di Negara kita pun persediaan sudah berlimpah. 

Pemerintah Indonesia lewat pernyataan Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi menyatakan bahwa produk perkebunan Indonesia dengan China mengalami kenaikan yaitu dari US$ 800 juta hingga US$ 2,3 miliar. Namun untuk sektor holtikultura termasuk produk-produk buah-buahan, penetrasi pasar produk China jauh lebih tinggi dari Indonesia. Artinya Indonesia lebih banyak mengimpor buah-buahan dari China dari pada mengekspornya. Rendahnya harga produk dari China telah menghantam petani hortikultura dalam negeri. Salah satu yang terkena imbas paling besar ialah petani bawang putih. Situasi ini jelas memperlihatkan bahwa ACFTA hanya menguntungkan perkebunan-perkebunan besar dan menghancurkan nasib para petani kecil.akan berhadapan dengan karena Saat ini saja telah terjadi ketidak seimbangan neraca ekspor impor Indonesia dengan Cina. Dalam tiga tahun terakhir, perbandingan neraca ekspor dan impor nonmigas antara Indonesia dan Cina selalu menunjukkan angka defisit. Data Bank Indonesia (Mei 2009) menyebutkan bahwa pada tahun 2006 kita mengalami defisit sebesar 0,993 milyar dolar AS. Pada tahun 2007 jumlahnya naik mencapai 2,708 milyar dolar AS bahkan pada tahun 2008 angkanya meningkat tajam mencapai 7,898 milyar dolar AS. Selama tahun 2009 Cina menjadi negara pemasok barang impor nonmigas terbesar dengan nilai US$12,01 miliar (BPS, 2010). 

Sudah Nampak jelas dipermukaan bahwasanya pemerintah hari ini SBY-BUDIONO dengan beberapa perjanjian dengan Negara asing, seperti perjanjian ACFTA telah menjadikan petani semakin menderita, selain adanya harga pupuk yang semakin melambung tinggi, hasil pertanian kita tidak pernah dihargai sesuai dengan perjuangan dan jerih payahnya. Yang mereka pikirkan dan pentingkan hanya perut mereka semata, sumpah yang mereka ikrarkan tidak pernah menjadikan mereka sosok seorang pemimpin yang benar-benar mengayomi dan menaungi rakyatnya. Semoga dihari petani yang jatuh tanggal pada tanggal 24 September 2012 menjadikan sebuah moment untuk menyatukan tekad dan semangat melawan terhadap rezim penindas.