Hari Tani (24 September) “ TANAH UNTUK RAKYAT”`
Melalui
keputusan Presiden Soekarno Tanggal 26 Agustus 1963 No 169/1963, 24 september
ditetapkan sebagai perayaan hari Tani nasional. Tiga tahun sebelumnya, pada hari Sabtu tanggal 24 September 1960 rancangan UUPA disetujui oleh Dewan Perwakilan
Rakyat
Gotong
Royong (DPRGR)
dan kemudian disahkan oleh Presiden RI Soekarno menjadi Undang-undang Nomor : 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang lazim disebut Undang-undang Pokok
Agraria disingkat UUPA
UUPA merupakan
kebijkan hukum yang mengarah pada bidang agraria dalam usaha mengurus dan
membagi tanah dan sumber daya alam lainya yang terkandung di dalamnya untuk
kepentingan dan ksejahteraan rakyat,dimana dasar politik hukum agraria nasional dinyatakan ddalam teks
asli UUD 1945 dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan: “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat”.
Keberadaan UUPA
sebagai titik balik dari politik hukum Agraria kolonialisme, yang sangat
membela kepentingan kepentingan negara kolonial (penjajah) dan feodal, dengan
berprinsip pada hukum kapitalisme, yakni kebijakan politik hukum agrarian diarahkan
pada proses rampokisasi sumberdaya alam baik yang menyangkut alat-alat produksi
mauapun hasil bumi, dengan maksud mengakumulasi modalnya (menumpuk kekayaan)
pribadi penguasa colonial yang juga merangkup sebagai pengusaha. Menurut Imam
Soedjono, dalam pelaksanaan Sistem Tanam Paksa (STP) para pejabat colonial
(Belanda) mendapatkan cultuurprocenten (prosenan tanaman) yang merupakan bagian
dari keuntungan yang di dapat dari STP. Keuntungan yang melimpah dari STP
mengakibatkan tumbuhnya budaya Nepotisme, keluarga-keluarga pejabat
dengan mudah mendapatkan kontak pabrik gula, misalkan seperti Van de Bosch
(Gubernur Jenderal Hindia Belanda (Indonesia) waktu pemberlakuan STP)
mendirikan beberapa pabrik di dekat Bogor dan kedua anaknya banyak memiliki
saham di beberapa pabrik gula dengan
keuntungan yang berlipat sehingga dengan waktu singkat banyak pejabat tinggi
menjadi miliuner. Disisi lain rakyat pribumi sebagai pemilih sah tanah diperas
tenaganya dengan dituntut dua kali lipat dibanding dengan kerja yang diperlukan
untuk penggarapan sawahnya tanpa upah selain itu tanahnya juga dirampok untuk
ditanamain tanaman produksi pabrik kolonial (penjajah).
Pemahaman
terhadap momentum hari tani harus ditempatkan pada prospek sejarah sebagai
sebuah upaya untuk mengembalikan esensi hari tani, tanggal 24 september bukan hanya sebuah
gerakan serimoni perayaan hari tani nasional, tapi lebih pada gerakan “Tanah
untuk Rakyat”,
Sejarah agraria
di Indonesia dapat dikupas dalam dua bagian, pertama era kolonialisme
(penjajahan) dan kedua: Era Revolusi Nasional (kemerdekaan):
Era Kolonilisme:
Untuk dapat menganalisa
kolonialisem (penjajahan) di Indonesia, harus dimulai dengan perkembngan
kapitalisme awal di eropa, kapitalisme awal di eropa yang ditandai dengan era
merkantilisme (monopoli perdagangan) merupakan sebuah instrument pertama
penumpukan capital, dimana pada waktu itu Negara-negara kuat seperti spanyol,
Portugal, Prancis, Inggris dan Belanda kehidupan ekonominya sangat tergantung
pada sumber daya alam di beberapa Negara misalkan mineral di amerika latin,
gula dari kepualaun Karibia, kayu dari Afrika dan rempah-remapah dari Asia. Menurut Mercury Dobbs, era
monopoli perdagangan menimbulkan gejala terbentuknya ”oligarki Tuan Tanah’
dan Aritrokasi pedagang baru”. Dan salah satunya adalah VOC Vereenigde Oostindische Compagnie (Perusahaan Hindia Timur Belanda) yang
mendarat di bumi pertiwi.
Pada masa VOC (Vernigde Oost Indische Compagnie) 1602 -1799.
Perusahaan yang berpusat di Oost-Indisch Huis,
Amsterdam Belanda, yang didirikan atas desakan Johan Van
Olddenbarneveldt,sebagai upaya untuk menyikapi penguasaan atas perdagangan
rempah-rempah di eropa, dan sesuai dengan keputusan yang tercantum dalam
oktrooi (piagam/charta) tanggal 20 maret 1602 VOC mendaptkan hak istimewa,
misalkan boleh mempunyai tentara, mempunyai hak untuk menguasai dan memerintah
daerah-daerah yang telah diduduki, menetabkan/mengeluarkan mata uang sendiri,
dan juga memperoleh hak untuk memungut pajak di daerah yang telah diduduki, dengan hak ini
VOC mempunyai hak untuk mengambil tindakan atas nama pemerintah Belanda
maka VOC yang merupakan perusahaan perkumpulan dagang mempunyai kekuasaan
selayaknya suatu negara.
Beberapa kebijaksanaan politik pertanian yang sangat menindas rakyat
Indonesia yang ditetapkan oleh VOC, antara lain : (1).Contingenten.Pajak hasil atas tanah pertanian
harus diserahkan kepada penguasa kolonial (kompeni). Petani harus menyerahkan
sebgaian dari hasil pertaniannya kepada kompeni tanpa dibayar sepeser pun.(2).Verplichte
leveranten.Suatu bentuk ketentuan yang diputuskan oleh kompeni dengan para
raja tentang kewajiban meyerahkan seluruh hasil panen dengan pembayaran yang
harganya juga sudah ditetapkan secara sepihak. Dengan ketentuan ini, rakyat
tani benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak berkuasa atas apa
yang mereka hasilkan.(3). Roerendiensten.Keijaksanaan ini dikenal
dengan kerja rodi, yang dibebankan kepada rakyat Indonesia yang tidak mempunyai
tanah pertanian.
Dengan sistem kolonialisme yang diterabkan pada 1669, VOC merupakan perusahaan pribadi terkaya
dalam sepanjang sejarah, dengan lebih dari 150 perahu dagang, 40 kapal perang,
50.000 pekerja, angkatan bersenjata pribadi dengan 10.000 tentara, dan
pembayaran dividen 40%.
Masa Pemerintahan Gubernur Herman Willem Daendles
(1800-1811).
Dengan bantuan tentara Prancis
kaum patriot “bangsawan” Belanda menumbangakan kerajaan Belanda dan
menggantikannya dengan bentuk negara baru, yaitu Batafse Republik pada tahun
1705, dan pemerintahan baru ini yang membubarkan VOC dan memerima segala
penyerahan kekayaan.Kemudian
perkembangan politik Indonesia mengalami perubahan dengan tampilnya Napoleon
Bonnaparte sebagai kaisar di Prancis di tahun 1804, singkatnya kaisar Napoleon mengangkat
adiknya yaitu Louis Napoleon sebagai raja Belanda dan atas keputusan dari kakaknya Louis Napoleon mengirim tokoh patriot
bernama Herman Wiliem Deandles sebagai wakilnya di Indonesia dengan pangkat
gubernur jenderal.
Kekuasaan Deandles
di Indonesia, merupakan upaya untuk mempertahankan daerah jajahan khususnya
jawa dari serangan Inggris dan memperbaiki sisitem administrasi yang dapat
menjamin kepentingan pihak penjajah, salah satunya adalah dengan menjual
tanah-tanah Negara kepada partikelir atau pihak pengusaha perkebunan
yang kemudian disebut sebagai tanah partikelir, tanah partikelier
adalah tanah eigedom (tanah hak milik) yang memepunyai corak istimewa,
dimana pemilik tanah memiliki hak-hak yang
bersifat kenegaraan yang disebut landheerlijke rechten atau hak
pertuanan. Hak pertuanan, misalnya : (a)Hak untuk mengangkat atau
mengesahkan kepemilikan serta memberhentikan kepal-kepala kampung/desa; (b)Hak
untuk menuntut kerja paksa (rodi) atau memungut uang pengganti kerja paksa dari
penduduk(c).Hak untuk mengadakan pungutan-pungutan, baik yang berupa uang
maupun hasil pertanian dari penduduk;(d).Hak
untuk mendirikan pasar-pasar;(e.)Hak untuk memungut biaya pemakaian jalan dan
penyebrangan;(f.)Hak untuk mengharuskan penduduk tiga hari sekali memotong
rumput untuk keperluan tuan tanah, sehari dalam seminggu untuk menjaga rumah
atau gudang-gudangnya dan sebagainya.
Masa Pemerintahan Gubernur Thomas Stamford Rafles
(1811-1816).
Untuk memenuhi
ambisinya meyatukan dunia di bawah
kepemimpinan Prancis, tahun 1912 dengan kekuatan 200.000 tentara, Napoleon
menyerbu Rusia, dan dalam penyerbuan tersebut ia memanggil Deandles untuk ikut
dalam penyerbuan tersebut, dan Janseen ditunjuk untuk mengantikan Deandles menjadi Gubernur
jenderal di Indonesia Hindia Belanda (Indonesia), dalam perkembangannya Prancis
gagal dalam ekspedisi penyerbuan ke Rusia, akibat kegagalan tersebut membuat kekuasaan
Napolen melemah dan ini dimanfaatkan oleh Rafles (seorang pegawai Inggris)
untuk mengajukan permohonan kepada Lord Minto di
India untuk menyerang Hindia Belanda.Permintaan tersebut disanggupi oleh Lord Minto
yang langsung memimpin penyerangan ke Batavia. dan akhirnya Hindia Belanda jatuh
ketangan Pemerintah Inggris,
setelah itu Pulau Jawa diserahkan kepada Thomas Stamford Raffles selaku
wakil Lord Minto di Pulau Jawa dengan pangkat Letnan Gubernur.
Pada masa Rafles semua tanah yang berada di bawah
kekuasaan government (pemerintah) dinyatakan sebagai eigendom governmen (hak milik pemerintah) maka semua tanah rakyat dirampas atau beralih
menjadi milik Raja Inggris, sedangkan rakyat tidak sama sekali memiliki tanah
dan hanya sekedar diperbolehkan memakai dan mengarabnya dan oleh karena itu mereka wajib memberikan pajak tanah kepada Raja Inggris, pajak tanah
ditetapkan sebesar 2/5 hasil panen, boleh dibayar dengan hasil bumi atau uang.
4. Masa Pemerintahan Gubernur Johanes
van den Bosch
Tahun
1813 Napoleon mengalami kekalahan besar dalam peperangan di werteloo, maka berakhir pula kekuasaan Prancis atas
negara-negara eropa termaksud Belanda, dan pada tahun 1814 pada kenferensi Wina
kerajan – kerajan yang menjadi bekas jajahan Napoleon mulai menata kembali teritorial
penjajahanya dan salah satu keputusan konferensi tersebut memutuskan bahwa Britania harus mengembalikan Jawa dan
kekuasaan Hindia-Belanda (Indonesia) lainnya kepada Belanda sebagai bagian dari
persetujuan yang mengakhiri Perang Napoleon.
Krisis keuangan diderita oleh pemerintahan Belanda diakibatkan
oleh pengeluaran yang sangat besar untuk pembiayaan peperangan yang dilakukan
pada abad ke 19, menurut L D Jong Belanda harus mengeluarkan uang f 20 juta
untuk pembiyaan perang jawa, melawan pangeran Diponogoro selam lima tahun pada
1825 -1830, dan bahkan sebelumnya Pemerintah Belanda harus mngutang kepada pemerintah
Batavia sebasar f 40 juta untuk membiyai ekpansi-ekpansi militernya di jawa
maupun di luar jawa. Untuk mengatasi krisis keuangan tersebut Johanes van den Bosch menawarkan diterapkannnya
Sistrm Tanam Paksa (STP, Cultuurstensel)
di Hindia Belanda (Indonesia), usul Van De Bosch diterima oleh pemerintah
Belanda dan mengirim Van De Bosch ke Batavia Hindia Belanda serta menjabat
sebagai Gubernur Jenderal.
Hindia Belanda
(Indonesia) dengan penerapan STP diperas untuk menghasilkan barang-barang
ekspor seperti kopi, teh, gula, tembakau, kayu manis dan kapas melaui
perusahaan semi pemerintah Nedrland Handel-Maatschappij (NHM) nantinya hasil
dari rampokisasi bumi Indonesia diperlelangan di Amsterdam Belanda. Kebutuhan
tanah yang sangat luas dan jumlah tenaga kerja yang sanagat besar sebagai
syarat terselengaranya STP, Van De Boch menentukan setiap desa dalam setahun
harus menyerahkan seperlima luas sawahnya untuk ditanami-tanaman wajib ekspor
pemerintah, sehingga penduduk desa yang memiliki sawah akan kehilangan sawahnya
sekian bulan dalam setahun, menurut Imam Soedjono, fakta dilapangan menunjukkan
kebayakan desa harus meyerahkan lebih dari seperlima sawahnya dan bahkan bisa keseluruhan
sawahnya, untuk memenuhi ambisi Belanda yaitu membangun pabrik-pabrik gula
baru, Belanda pun mampu membangun lebih dari 100 pabrik gula dan setiap pabrik
memerlukan 300 – 400 hektar tanah untuk ditanami tebu. Bagi penduduk desa yang
tidak memiliki sawah Van de Bosch menerabkan kerja wajib selama 66 hari di
perkbunan milik pemerintah serta dijanjikan akan di berikan upah tanah. tetapi
menutut L de Jong, pada tahun 1845 penduduk pedesaan di jawa yang melakukan
wajib kerja tidak sama sekali menerima upah dengan alasan upah sudah
diperhitungkan dengan pembebasan sewa tanah.
Dari hasil
sistem tanam paksa yang diterapkan di Indonesia, dalam catatan Imam Soedjono. NHM
perusahaan semi pemerintah ini mendapatkan keutungan besar setiap tahun dia
membagikan deviden rata-rata 9 persen sampai akhir tahun 1870 uang yang masuk
ke peti uang Negeri Belanda yang disebut batig slot (hasil yang
menguntungkan) berjumlah ƒ 725 juta yang merupakan seperlima dari pendapatan
negara, namun hasil keuntungan tersebut tidak sama sekali dikembalikan ke
Hindia Belanda (Indonesia) namun digunakan untuk kepentingannya sendiri,
menurut L D Jong, dengan keuntungan ini, Belanda melunasi sebagian hutang
negara, memberikan subsidi kepada pabrik tenun twente, membangun perkeretaapian
negara, membuat bangunan pertahanan, memperbaiki pelabuhan Amsterdam dan
Rotterdam dan juga digunakan untuk menata kembali pelayaran Belanda.
Masa Kapitalisme
Liberal
Berkebangnya
ide-ide liberalisme di Belanda pada akhir tahun 1840, Ide-ide Libealisem ini
yang diusung oleh elit - elit politik kaum liberal, yang menuntut swastanisasi
perkebunan-perkebunan dan perekonomian-perekonomian Kolonial. Karena semenjak
diberlakukannya STP modal –modal swasta susah untuk berakumulasi karena tidak
mempunyai kesempatan mengembangkan usahanya di Indonesia. Mereka (pengusaha
swasta) mengetahui bahwa usaha di Indonesia sangat menguntungkan karena
tersedia tenaga murah dan tanah murah yang melimpah, atas dasar penekanan
politis dari kaum liberal , STP pada tahun 1870 dihapuskan dan digantikan
dengan sistem kapitalisme liberal "free figth competition to exploit
Indonesian".
Atas desakam
elit politik liberal di Belanda dibuatalah produk hukum agaraia Agrarische Wet (AW)
yang
diundangkan dalam S.1870-55. AW sebagai respon untuk pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan tanah untuk pngusaha swasta di Indonesia serta proses liberalisasi
dengan memberikan tanah-tanah negara dengan diberlakunnya hak Erfacht (HGU
dijaman sekarang)
yang berjangka waktu lama, sampai 75 tahun. Dan juga memberikan keleluasaan bagi para pengusaha untuk dapat meyewa tanah adat ataupun tanah pribumi .
Ketentuan-ketentuan AW pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam peraturan dan
keputusan. Salah satu keputusan yang paling penting adalah apa yang dimuat
dalam Koninklijk Besluit (KB), yang kemudian dikenal dengan
nama Agrarische Besluit (AB), S.1870-118 yang menegaskan bahwa
satu-satunya (domein) yang berwenang untuk memberikan tanah-tanah kepada pihak
lain adalah Pemerintah.
Dalam pemenuhan atas tanah para kapitalisme Kolonial,
perusahaan swasta menurut Mc Bridge mengadakan perjanjian sewa tanah
yang sifatnya “kolektif” satu surat perjanjian menyangkut banyak petani yang
menyewakan tanahnya kepada pabrik.. proses kolektif sistem penyewaan tanah
ini dapat terlaksana karena, menurut Breman. Rapinya kerjasama antara
administrator perusahaan, penguasa desa dan birokrasi pegawai negeri. Seperti
dalam catatan Sok Hok Gie para lurah yang seharusnya menjadi kepala
desa, kini menjadi alat pemerintah semata-mata dan dengan sendirinya mereka
menjadi praktis alat para pengusaha perkebunan.Misalnya, pada tahun 1919, para
pengusaha perkebunan memberikan premi f 2,50 (dua setengah rupiah Belanda)
untuk setiap bau kepada lurah-lurah yang dapat mengubah sawah-sawah desa
menjadi perkebunan tebu. (1 bau = 7096,50 m2). Jika ada petani yang
“membangkang” atau tidak mau menyewakan tanahnya akan mendapatkan ancaman serta
intimidasi dari perusahaan, anatara lain disumbat aliran air sawahnya oleh
pabrik saat musim kemarau.
Berkurangnya areal
tanah persawahan yang merupakan dampak dari kerakusan pabrik gula asing untuk
menguasai tanah –tanah sawah . dalam catatan Sok Hok Gie, produksi tebu (gula) di tahun 1900 berjumlah
744.257 ton, meningkat di tahun 1915,
menjadi 1.319.087, 1.629.827 di tahun 1916 dan 1.822.188 pada tahun
1917. Sementara panen padi dari tahun
menurun. Maka tidak mengherankan di akhir abad ke 19 di keresidenan Semarang
terjadi kekurangan bahan makanan yang akut, dan keadaan ini juga diperparah
oleh terhambatnya pengangkutan beras anatara Indonesia dengan negara Asia penghasil
beras lainnya dikarenakan Perang Dunia I.
Dihapuskanya
Sistem Tanam Paksa dan digantikan dengan kapitalisme liberal yang masih
dipelihara sampai saat ini oleh penguasa, dengan membiarkan pemodal asing masuk
dan menjarah sumber daya alam bangsa kita serta memeras tenaga rakyat, menjadikan nasib rakyat lebih buruk. apakah
petani dan buruh diam waktu itu? Petani dan buruh menjawabnya dengan
perlawanan. Didalam catatan Imam Soedjono, Muncul solidaritas dan kesatuan aksi
kaum buruh dan kaum tani serta element perlawanan rakyat lainnya dalam dalam
aksi mogok di 30 pabrik dan perkebunan,dengan jumlah aksi massa sekitar 10.000
yang meliputi 6 pabrik gula, 8 perkebunan, 14 perkebunan nila dan 2 perkebunan
tembakau selama 3 bulan. Perlawan juga dilakukan oleh para petani pemilik tanah
dari desa patik (Kawedanan Pulung, Kabupaten Ponorogo, keresidenan mediun)
memberontak karena, karena beratnya tanggungan pajak . dalam perturan resmi
petani ditarik 6,1% dari penghaslan namun kenyataanya ditaring hingga 16,1 %.
Dan yang paling menonjol perlawan terhadap ketidaksewenang-wenangan penguasa di
akhir abad 19 dilakukan oleh petani Banten dinama telah terjadi huru – hara pada
tahun 1888,. Menurut catatan Sartono Kartodirjo, peristiwa perlawan petani di Bnaten menewaskan
Sembilan penguasa Belanda dan sembilan orang penguasa pribumi, sementara itu di
pihak petani tiga puluh orang meninggal, lebih dari 200 orang ditangkap,
sebelas diantaranya digantung dimuka umum, kurang lebih 90 orang dikenakan
kerja paksa bertahun –tahun dan kurang lebih 90 orang dibuang. Perlawanan ini
tidak hanya ditunjukkan penguasa Belanda tetepi juga kepada pihak
pendukungnya:penguasa pribumi.
Era Revolusi
Nasional dan lahirnya UUPA
17
Agustus 1945 pada pukul sepuluh, Pembacaan Teks Proklamasi yang dibacakan
Soekarno dan didampingi Bung Hatta di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsahan
Timur 56 serta dilanjutkan oleh pengibaran bendera Merah-Putih di halaman rumah
oleh Thudarjo Peta, Abdulatif Herdaningrat disambut dengan lagu Indonesia Raya
oleh para hadirin, merupakan Tonggak awal perwujutan revolusi nasional.
Salah satu titik
sejarah yang sangat penting dalam awal kemedekaan nasional adalah rekontruksi
ulang atas sistem pertanahan, melaui lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) dimana upaya penyusunan
hukum agraria nasional. Pertama dengan proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia
memutuskan hubungan dengan hukum agraria kolonial sekaligus, yang kedua, bangsa
Indonesia berupaya membentuk hukum agraria nasional.
Penyusunan
dasar-dasar hukum Agraria dimulai sejak tahun 1948 sampai 1960 dimulai dari pembentukan panitia, Panitia
Agaraia Yogya (1948), Panitia Agraria Jakarta (1951), Panitia Soewadjo (1995),
Panitia Urusan Agraria (1956), Rancangan
Soenardjo (1958), Rancanagan Sadjarwo (1960) dan akhirnya digodok dan
diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR) yang dipimpin oleh
H. Zaenul Arifin dan tanggal 24 September 1960
rancanan UUPA disetujui oleh DPRGR dan kemudian disahkan oleh Presiden
RI menjadi Undang- undang Nomor : 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang lazim disebut
Undang-undang Pokok Agraria disingkat UUPA.
Dalam Pidato
Pengantar Mr. Sadjarwo (Menteri Agraria) dalam Sidang DPR-GR, 12 September 1960,
mengatakan :
“...perjuangan
perombakan hukum agraria nasional berjalan erat dengan sejarah perjuangan
bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari cengkraman, pengaruh, dan sisa-sisa
penjajahan; khususnya perjuangan rakyat tani untuk membebaskan diri dari
kekangan-kekangan sistem feodal atas tanah dan pemerasan kaum modal asing...”.
Maka tanggal 24
September sebagai momentum hari tani yang ditandai dengan lahirnya UUPA dan jika kita juga mengacu terhadap sejarah, sudah
sangat jelas bahwa: merupakan sebuah
gerakan konsitusional dan kemenagan rakyat dalam merebut kembali hak Tanahnya
baik dari cengkraman kolonilisme feodal maupun pemodal internasional.
|