Background

Tukijo Masih Meringkuk di Sel Penjara di bulan yang merdeka



“Saudara! Kau tau apa yang dicita-citakan oleh tiap tawanan (narapidana) ??
Engkau pasti tau ! KELUAR, Mendapatkan kebebasan Kembali,
Hidup Bergaul dengan Kawan-kawan, Saudara dan Sesama Manusia.
Buat saudara, mungkin sebuah pernyataan “KELUAR”
Itu tak memberi kesan apa-apa. Tapi buat seorang Tawanan,
Kata itu merdu menggairahkan. Sama saktinya dengan lagu Kemerdekaan.”
{Pramoedya Ananta Toer, dalam Blora, 1952}

Malaikat-malaikat mungkin tidak punya catatan tentang nama-nama dalam kartu kunjungan dimana orang-orang teraniaya, terkungkung dalam bangunan dengan tembok-tembok pucat yang tidak beradap orang-orang bergegas melewati pintu gerbang berjeruji menemui hari-hari pengasingan yang menunggu diatas bangku-bangku panjang sambil menghisap rokok kretek menenteng rasa rindu dalam bungkusan plastik menemui hari Selasa yang gelisah tak menentu arah. Saya mungkin salah satu orang tak dikenal dekat memberikan pelukan hangat ditengah terik matahari yang menyengat bulan yang lalu yang tak kenal lelah mendengar keluh–kesah PETANI yang tak bersalah ialah Bung TUKIJO…
Penjara adalah sebuah institusi untuk merampas kemerdekaan individu. Negara memonopolinya dengan pembenaran secara yuridis. Adanya institusi penjara akan mengisolasi unsur-unsur yang di anggap mengganggu “tertib sosial” dan menjadikan efek jera bagi mereka yang dipenjara. Namun dalam kenyataannya tertib sosial bukanlah dijamin oleh bentuk-bentuk hukuman, akan tetapi oleh hal-hal struktural yang menyebabkan tertib sosial itu terganggu. Pembagian ekonomi yang tidak adil dalam sebuah masyarakat, termasuk didalamnya adalah persoalan Agraria, megundang pemodal asing dengan menggusur rakyat yang lemah bahkan mengkriminalisasikan, hingga menyebabkan mayoritas masyarakat hidup dalam kesengsaraan dan kemiskinan, merupakan sebab struktural dari terganggunya tertib sosial.
Sesungguhnya tidak ada manusia yang terlahir sebagai seorang kriminal. Perbuatan kriminal hanyalah bentuk permukaan dari kegagalan sebuah sistem pemerintahan untuk membangun sebuah kesejahteraan rakyat. Meningkatkan kesejahteraan rakyat, mengurangi kesenjangan ekonomi, distribusi ekonomi (alat produksi seperti tanah) yang adil dan partisipasi rakyat untuk menentukan bentuk-bentuk ekonomi yang adil adalah cara yang paling ampuh untuk mencegah munculnya gangguan bagi sebuah tertib sosial. Dilembaga Pemasyarakatan (LP) Wates Kulon Progo, mungkin secara umum diberbagai penjara lainnya motif ekonomi karena kemiskinan merupakan sebab utama, mengapa mereka “terpaksa” merampas hak milik orang lain.
Namun tidak semua bentuk “hukuman pemenjaraan” disebabkan karena aktivitas yang dianggap mengganggu rambu-rambu hukum tertib sosial. Dalam sejarah perampasan kebebasan individual, terhadap suatu mekanisme untuk menjamin kepentingan sebuah kekuasaan politik atas orang-orang, kelompok, ide-ide atau berbagai jenis organisasi yang dianggap tidak sejalan atau tidak sesuai dengan keinginan penguasa rente yang kapitalistik. Seperti yang sedang terjadi dipesisir Kulon Progo dimana rakyat yang bersama-sama membangun organisasi petani (Paguyuban Petani Lahan Pantai/PPLP-KP) dalam upaya untuk menolak rencana penamabangan pasir besi yang berpotensi menggusur lahan pertanian dan pemukiman mereka sering kali dihadapkan dengan bentuk intimidasi, kekersan dan kriminalisasi seperti kasus yang dialami oleh TUKIJO, EKO dan SLAMET. Bahkan bila pemenjaraan dirasakan belum cukup menimbulkan rasa aman bagi sebuah kekuasaan, tidak menutup kemungkinan mereka dapat bertindak lebih ekstrem dengan konfrontasi fisik secara langsung mengerahkan aparat berseragam lengkap sehingga nantinya akan kita saksikan, jika konflik tersebut berujung pada penembakan hingga jatuh korban meningggal dari Petani oleh aparat. Belum hilang ingatan kita mungkin pada kasus yang baru saja terjadi dikabupaten OKI Sumatera Selatan yang menewaskan Angga, kasus Penembakan petani di Bima, NTB, Mesuji Lampung, Kebumen, alas telogo Pasuruan Jawa Timur dan sebagainya.  
Merdeka Atau Mati
Tujuh belas agustus tahun empat lima.. itulah hari kemerdekaan kita.. hari merdeka nusa dan bangsa…….”
“Merdeka!! Merdeka!! Merdeka!!”
Bulan suci Ramadhan telah datang menjelang datangnya bulan penuh sejarah bangsa kita yaitu Bulan Agustus yang bertepatan pada tanggal 17 Agustus 1945 dimana bangsa indonesia mendeklarasikan kemerdekaanya dari penjajahan kolonial. Nyanyian euforia hari kemerdekaan diikuti teriakan “Merdeka!” bergema diseluruh pelosok negeri. Iya, hari ini, 17 Agustus 2012, genap sudah 67 tahun Indonesia merdeka. Euforia ini seakan membius kita untuk melupakan segala agenda dan permasalahan bangsa. Ketika teriakan “Merdeka!” adalah teriakan slogan semangat perjuangan saat awal kemerdekaan suatu negara dan hilangnya segala bentuk penjajahan bangsa ini, kini kata “Merdeka!” menjadi teriakan kosong di setiap hari peringatan kemerdekaan.
Terlepas dari sadar atau tidak, kemerdekaan hakiki yang telah kita raih 67 tahun silam telah bergeser menjadi kemerdekaan semu. Bagaimana tidak, merdeka dari penjajahan dan penindasan serta cita-cita dari funding father bangsa tidak dinikmati oleh sebagian besar rakyat Indonesia, Tukijo adalah salah satu contoh warga Indonesia yang merasakannya. Upaya untuk memperjuangkan tanah miliknya dan seluruh tanah di pesisir Kulon Progo dari rencana penambangan pasir besi dan Klaim oleh Puro Pakualaman  sebagai tanah PAG (Paku Alaman Ground) harus berujung masuk kedalam penjara selama 3 Tahun lamanya. Pengklaiman/ monopoli tanah, senantiasa tumbuh subur pada era penjajahan dan feodal dulu dan itu sama sekali tidak dibenarkan, untuk itu di era Presiden pertama Soekarno membuat Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) th 1960. Terlebih-lebih mengundang perusahaan asing untuk mengeksploitasi kekayaan negeri ini seperti rencana penambangan pasir besi oleh PT. JMI yang berpusat di Australia untuk mengeruk lahan pertanian rakyat pesisir.  
Jutaan kaum tani yang sampai hari ini masih merupakan jumlah populasi terbesar dari penduduk negeri ini, adalah kelas sosial yang paling sering dilanggar hak asasi manusia tersebut adalah kekerasan fisik seperti yang diuraikan diatas terhadap petani yang dilakukan oleh aparat negara (TNI/Polri), kebijakan agraria dan pertanian yang tidak memihak kepada kepentingan kaum tani, tunduk pada kepentingan kaum kapitalisme internasional dalam soal impor pangan, benih dan akses atas air, sehingga negara yang terkenal agraris seperti Indonesia harus impor kedelai, kentang, bawang, beras, buah-buahan dan sebagainya yang bedampak langsun terhadap petani dalam negeri karena harus bersaing dengan raksasa MNC/TNCs, krisis tempe yang terjadi beberapa Minggu lalu sebagai bukti nyata. Tiadanya pelaksanann program land reform bagi kaum tani sehinga dapat dikatakan proses usaha untuk mengkerdilkan UUPA th 1960 juga menjadi sebuah persoalan serius disektor agraria di Indonesia saat ini.
Makna kemerdekaan hakiki bukan kemerdekaan negara tetapi justru kemerdekaan setiap warga negaranya. Tetapi perwujudan kemerdekaan hakiki yang dituangkan ke dalam Pancasila dan UUD 1945 hanya merupakan sajak-sajak indah yang sebenarnya menyedihkan jika kita menilik realitanya. Lihat saja, setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, apa kabar pengangguran yang tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang layak? Kalau pun ada rakyat yang bekerja itupun bekerja pada perusahaan asing yang menginvestasikan modalnya di Indonesia, gambaran menjadi budak dinegeri sendiri adalah nyata adanya. Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara; apa kabar gelandangan dan pengemis di jalanan dan kolong jembatan? Dimana hasil kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara untuk kesejahteraan rakyatnya, yang ada semua perusahaan bonafit seperti pertambangan Emas oleh Freeport di Papua, Newmont di NTB, pertambangan minyak oleh Exxon Mobil di Cepu, Caltex, Chevron dan masih banyak lainya, nyata adanya tidak untuk kesejahteraan rakyat melainkan untuk kesejahteraan negara-negara luar. Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak; lalu apa kabar orang sakit yang tidak berobat karena biaya? Itu semua adalah hak warga negara bangsa yang merdeka, yang sejatinya adalah kemerdekaan yang hakiki. Maka pertanyaan yang tepat, ini kemerdekaan atau kematian rakyat??