Background

Globalisasi VS Petani Perempuan

Perempuan- sebagaimana telah aku katakan- adalah  produsen utama dan pengelola pangan dunia. Namun, pekerjaan mereka dalam produksi dan pengolaan-nya sekarang telah dihilangkan (Vandana Shiva)

Thomas L Friedmen dlm bukunya The Lexus and the Olive Tree: Understanding Globalizationmenyebutkan Globalisasi bukanlah sebuah trend, namun sistem internasional yang mengantikan perang dingin. Globalisasi telah menjadi mantra sistem ekonomi internasional yang dikatakan mampu mengatasi ketertinggalan ekonomi di negara-negara dunia ketiga, Persaingan bebas dijadikan etika dlam hubungan ekonomi maupun politik, penerapan non tariff untuk komoditas import, penghapusan subsidi untuk komoditas public ( sector energy maupun non energy) maupun regulative (produk hukum) yang harus disesuikan dengan kebutuhan ekses bebas capital untuk menjarah sumber daya pribumi maupun tanah dan air yang sepenuhnya hak milik bangsa ini sebagai upaya penjaminan keberlangsungan hidup.

Globalisasi sebagai upaya penyesuian integritasi sistem capital, yang bertujuan untuk memastikan negara dunia ketiga, menerapkan sistem kapitalisem sebagai sistem ekonomi politiknya, saat Globalisasi meringkup dalam integritas sistem ekonomi politik suatu negara, maka berdampak sangat luas dalam sector-sektor rakyat, pertanian ecologi, industialisasi, perdagangan kecil, maupun pola produksi sector rakyat lainnya.

Untuk kesempatan kali ini, saya lebih terfokus pada sector pertanian khususnya peran petani perempuan dalam sector produksi pertanian yang telah mngalami penyimpangan-penyimpangan akibat arus globalisasi yang pernah di ungkap oleh Vandana Shiva pada acara kuliah di Reith BBC. Siapa yang memberi makan dunia? Perempuan dan petani kecil  yang bekerja sesuai dengan keragaman hayati, Dr Shiva  menegaskan merakah-lah penyedia makanan utama pangan di negeri-negeri ketiga. Keragaman hayati dipercaya lebih produktif dibandingkan dengan pola tanam yang terindustralisasi,pengintesifan keragaman hayati tanpa pengunanan bahan kimia atau rekayasa genetika mampu memberikan hasil pangan yang sangat tinggi dan disisi lain juga mampu mengatasi kekeringan,  Petani suku maya di Chiapas yang dinilai tidak produktif dalam sudut pandang industrilisasi (Globlisasi) hanya memproduksi jagung 2 ton dalam satu acre, jika dihitung hasil produksinya buncic-buncisan, sayur – sayuran dan buah-buhan dihitung, petani suku Maya mnghasilkan 20 ton dalam satu acre,   di pulau Jawa , penani kecil memnana 607 jenis tanaman di perkarangan rumah. Di daerah sub- Sahara Afrika, kaum perempuan menanam 120 jenis tanaman. Di Thailand , satu pekarangan saja menghasilkan memiliki lebih dari 60 jenis pohon. Keluarga di pedesaan Kongo menanam lebih 50 jenis daun-daunan di kebun mereka. Di Indonesia, 20 % pendapatan rumah tangga dan 40 % pasokan pangan domestic bersal dari pekarangan yang dikelola oleh perempuan.Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) menunjukkan lahan kecil yng ditanami beraneka ragam tanaman bisa menghasilkan pangan ribuan kali lebih banayak dibnding industry besar monokultur.   

Namun, Globalisasi ekonomi yang mengarah pada konsentarsi industry pembibitan,   peningkatan penguanann pestisida serta globalisasi perdagangan, menciptakan kondisi kelaparan dan hutang yang menumpuk yang dialami banyak petani kecil. Peregrakan capital yang intensif pada sector pertanian , diman perusahaan-perusahaan besar yang menguasai pertanian menjamur dia areal-areal produktif petani miskin, yang akhirnya menyebabkan kehancuran keragaman hayati serta sosio-kultur yang dibngun atas dasar keberlangsungan hajat hidup petani yang berkepanjangan. Di Bathinda negara bagian Punjab, dan juga di Warangai, Negara bagian Andara paradesth terjadi epidemic bunuh diri di kalangan petani, dahulu daerah yang terkenal subur di India itu kini, setiap petani terbelit hutang serta tidak bersemangat untuk hidup lagi, sebagian tanahnya mongering, gersang dan berubah menjadi gurun. Bibit asli/local digantikan oleh benih hibrida baru, yang tak bisa disimpan (hanya sekali pakai) dan harus dibeli setiap tahunnya dengan harga yang mahal. Benih hibrida tersebut juga rentan terhadap serangan hama. Pembelanjaan pestisida di Waranggai melonjak 2.000 persen, dari 2,5 juta dollar sejak taun 1980 menjadi 50 juta dollar saat tahun 1997, pembiayaan produksi denagn pengunaan benih hibrida  mninggkatkn biaya produksi dan tidak berimbang pada penghasilan serta rentan terhadap perusakan unsure hara di media tanam, menyebabkan mereka terbelit hutang dan tidak akan mampu untuk melunasinya.

Atas tekanan arus globalisasi, pembuatan regulasi (produk hukum) semakin memperhimpit kehidupan petani, misalkan Undang-undang higienis semu/palsu yang diberlakuan untuk proses produksi minyak, diman proses produksi yang dikatan tidak higienis misalkan tanpa kemasan menjadi ilegal bila diperdagangkan. Pada tahun 1998, Dr Shiva mngungkapkan banyak pemerosesan minyak local sekala kecil dilarang di India, karena “tak memenuhi peraturan mengenai kemasan”peraturan tersebut mengakibatkan kilang-kilang minyak kecil yang dikelola oleh masyrakat pribumi tutup, : peraturan tersebut juga menghancurkan pasar bagi benih tanaman bahan minyak  makan – minyak kelapa, mustard, wijen, kacang tanah dan bijih rami.

Selain itu juag produk hukum Trade Related Intelectual Property Rights Agreement (perjanjian mengenai hak-hak kekayaan Intelectual yang bisa diperdagangkan) yang menjadi aturan dari WTO ( World Trade Organitation) telah merampas pengetahuan petani miskin menjadi kekayaan perusahaan Global. Seperti varietas padi bastami (suatu jenis padi yang harum), kata Dr Shiva, Jenis Varietas tersebut sudah sudah lama dikenal di daerah kelahirannya kini  telah menjadi hak paten Ric Tec, perusahaan yang berkantor di AS dengan mengunakan hak paten no. 5.663.484. terhadap jenis beras dan biji-bijian Bastami. Dengan kejadian tersebut pengetahuan petani miskin telah dirampas menjadi kekayaan perusahaan global, sehingga petani miskin harus membayar obat-obatan yang telah mereka kembangkan sendiri.

Globalisasi adalah aturan komersil yang mendewakan Wall strett sebagai satu-satunya nilai. Hasilnya, segala sesuatu haarus bernilai tinggi. Alam,budaya, masa depan direndahkan nilainya dan dirusak. Aturan – aturan globalisasi meremehkan aturan – aturan keadilan dan pembangunan yang berkelanjutan, meremehkan welas asih dan saling bagi antar sesama, ungkap Dr Shiva.

NB : Vandana Shiva, Doktor fisika dan aktivis Lingkungan, aktiv dalam memperjuangkan masalh - masalh lingkungan, Pertanian, Gender, klas Etnik dan hak asasi manusia, kayanya: Biopolitic (bersama Ingun Mosesr), Ecofeminsm, Kali For Women, dan masih bnyak yang lainnya.